Jumat, 05 September 2014

WORKSHOP TEHNIK INISIASI PETUGAS KESEHATAN

WORKSHOP TIPK
TINGKAT PROVINSI SULAWESI SELATAN
Hotel Gran Imawan Makassar, 01-06 September 2014

Kegiatan ini membahas korelasi antara penyakit TB dan HIV, Salah satu peserta yang berasal dari puskesmas pulau Kodingareng, dr. Rudianto selaku kepala puskesmas dan didampingi oleh petugas TB Puskesmas sekaligus sebagai Konselor HIV, Irmawati P, S. Kep. Dalam kegiatan ini diharapkan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat puskesmas dapat mendiagnosa secara dini penyakit HIV dengan TB sehingga pencegahan dapat dilakukan secara dini pula.
Antara TB (Tuberkulosis) dan HIV (Human Immunodeficiency Virus) ternyata tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan keduanya sama-sama menjadi masalah. Berdasarkan data Global Report WHO tahun 2013, Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6 juta orang terjangkit TB dan 1,3 juta orang meninggal karena TB, termasuk 320 ribu kematian diantara orang dengan HIV positif.
Mengingat jumlah penderita TB (Tuberkulosis) dan HIV semakin hari semakin banyak, maka DepartemenKesehatan mengajak semua lapisan masyarakat untuk mengetahui berbagai hal tentang hubungan TB dan HIV. Berikut beberapa hal yang perlu diketahui hubungan antara TB dan HIV oleh masyarakat luas :
  1. Munculnya epidemi HIV dan AIDS di dunia menambah permasalahan TB, ko-infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Tuberkulosis (TB) adalah penyebab kematian utama pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
  2. Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6 juta orang terjangkit TB dan 1,3 juta orang meninggal karena TB, termasuk 320 ribu kematian diantara orang dengan HIV positif (Global Report WHO 2013).
  3. Diperkirakan pada tahun 2012 sebanyak 1,1 juta orang (13%) dari seluruh jumlah yang terjangkit TB adalah HIV positif. Sekitar 75% dari jumlah kasus ini terdapat di wilayah Afrika (Global Report 2013).
  4. Kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987 di Bali. Sejak saat itu penyebaran epidemi mulai terjadi di Indonesia. Jumlah kumulatif kasus AIDS dari 1987 sampai Juni 2013 sebanyak 43.667 kasus. Data pada April Juni 2013 menunjukkan bahwa persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seksual yang tidak aman pada heteroseksual (78,4%) diikuti dengan penularan melalui jarum suntik tidak steril pada penasun (14,1%), penularan dari Ibu yang HIV positif ke anak sebesar 4,1%, dan LSL (2,5%).
  5. Saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Jumlah kumulatif kasus HIV dari 2005 sampai Juni 2013 sebanyak 108.600 kasus. Secara umum, Indonesia memiliki prevalensi HIV rendah. Estimasi prevalensi HIV di antara populasi orang dewasa adalah 0,2 % secara nasional dan diperkirakan bahwa ada 186.000 orang yang hidup dengan HIV (2010). Meskipun demikian, beberapa daerah merupakan wilayah dengan epidemi terkonsentrasi, bahkan Papua merupakan wilayah dengan epidemi yang meluas di mana prevalensi HIV pada populasi umum adalah sebesar 2,4 %. Dua belas provinsi telah diidentifikasi sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV. Pada triwulan kedua tahun 2012, ada 196 rumah sakit, 76 klinik dan 159 puskesmas yang mempunyai layanan konseling dan tes sukarela (VCT) serta 238 rumah sakit yang menyediakan pengobatan antiretroviral (ART) secara nasional.
Ko-infeksi TB -HIV
  • Pasien ko-infeksi TB-HIV adalah pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB.
  • Pada orang dengan sistem imunitas yang menurun misalnya ODHA, infeksi TB laten mudah berkembang menjadi TB aktif. Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB (laten) akan menjadi TB aktif.
  • Survei prevalensi HIV di antara pasien TB baru di beberapa provinsi menunjukkan hasil dari 2 % di Jogyakarta ( 2006) dan 0,8 % di Jawa Timur , 3,8 % di Bali dan 14 % di Papua ( 2008).
  • Di Indonesia TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan infeksi penyerta yang sering terjadi pada ODHA (31,8%).
  • WHO memperkirakan jumlah pasien TB dengan status HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 7,5%, terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 3,3% (Global Report WHO 2013).
Kegiatan kolaborasi TB-HIV
  • Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia merupakan rangkaian kegiatan bersama program Pengendalian TB dan program pengendalian HIV yang bertujuan untuk mengurangi beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.
  • Sejalan dengan rekomendasi WHO, kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia adalah kegiatan yang berupaya untuk mempercepat diagnosis dan pengobatan TB pada pasien HIV dan sebaliknya mempercepat diagnosis dan pengobatan HIV pada pasien TB, dengan memperkuat jejaring layanan keduanya.
  • Kegiatan Kolaborasi TB-HIV dimulai pada tahun 2007 dan telah disosialisasikan ke seluruh provinsi mulai tahun 2008. Selanjutnya diperkuat melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1278 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan kolaborasi pengendalian Penyakit TB dan HIV.
  • Sebagai acuan pelaksanaan kegiatan, pada tahun 2012 telah kembangkan Buku Manajemen Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TBHIV di Indonesia dan Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV, yang selanjutnya juga dilakukan akreditasi modul pelatihan kolaborasi TB-HIV, termasuk di dalamnya adalah materi TIPK dan PPI TB. Bahan KIE TB-HIV telah dikembangkan dan didistribusikan ke daerah. Format pencatatan dan pelaporan dengan memasukkan informasi tentang TB-HIV juga telah dibangun dimanfaatkan.
  • Pada tahun 2013 telah diterbitkan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia, di mana pasien TB merupakan salah satu kriteria pasien yang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan penawaran tes HIV dan perlu dilakukan percepatan pemberian ARV bagi pasien ko-infeksi TB-HIV.
  • Sebagai upaya mempercepat diagnosis TB pada ODHA, pada tahun 2013 sebanyak 17 RS/fasyankes sudah mengoperasikan mesin Xpert MTB/RIF. Pada tahun 2014 direncanakan setiap provinsi mempunyai sedikitnya satu alat tes cepat yang berbasis PCR ini (Xpert MTB/RIF) yang dapat dimanfaatkan oleh ODHA.
  • Di tingkat nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah memasukan rencana strategis TB dan HIV dan mengembangkan model layanan di beberapa Lapas/Rutan dengan menitik beratkan pada layanan TB HIV.
Tantangan ke depan
Secara umum, tantangan utama kolaborasi TB-HIV adalah:
  • Meningkatkan jejaring layanan kolaborasi antara program TB dan program HIV di semua tingkatan, komitmen politis dan mobilisasi sumber daya. Dengan cara ini semakin banyak orang yang mengerti dan bisa memberikan pengetahuannya kepada orang lain sehingga penyebaran penyakit ini bisa diminimalisir.
  • Meningkatkan akses tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan yang ditujukan bagi pasien TB dan bagaimana membangun jejaring pelayanan diagnosis dan pengobatan. Peran petugas kesehatan terutama di daerah sangat penting untuk mengurangi jumlah penderita TB atau HIV.
  • Memastikan bahwa pasien yang terdiagnosis TB dan HIV harus mendapatkan pelayanan yang optimal untuk TB dan secara cepat harus dirujuk untuk mendapatkan dukungan dan pengobatan HIV AIDS dalam hal ini termasuk pemberian pengobatan pencegahan dengan Kotrimoksasol dan pemberian ARV.
  • Memastikan pendekatan pelayanan kepada pasien TB-HIV dengan konsep one stop services.
  • Monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV. Kegiatan ini sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang terbaik.
  • Ekspansi ke seluruh layanan kesehatan di Indonesia. Pelatihan dan pemberian informasi tentang TB dan HIV ini harus menyeluruh hingga ke pelosok Indonesia.
Mudah-mudahan dengan cara ini pertumbuhan penderita TB-HIV yang ada di Indonesia bisa berkurang, dan kesehatan masyarakat Indonesia semakin meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar